MY MOTHER


.

Nama ku Khairunnisa mungkin itulah
perkenalan singkatku. Karena jika
dijabarkan lebih jelas, mungkin akan
menjadi panjang dikalikan lebar sama
dengan luas. Hmm, hobi menulisku
memang kadang-kadang membawa ilmu-
ilmu eksak. Mungkin karena aku suka
pelajaran menghitung, walau faktanya
nilai matematikaku tak bisa selalu
sempurna meski aku telah belajar keras
dan penuh kesungguhan. Tapi aku
merasa beruntung, karena aku dikelilingi
oleh orang-orang yang baik selalu
kepadaku. Dan keberuntungan itu selalu
saja memaksaku untuk pandai-pandai
bersyukur
“Aku nisa. Aku Aku bahagia hidup di
khatulistiwa.” inilah salah satu coretan
penaku yang tak jelas bertujuan apa yang
kerap kali kutulis ketika aku sedang
lapar. Maklum saja, sejak aku duduk di
bangku putih biru hingga di putih abu-abu
aku nyaris tak sempat tidur siang lagi
seperti kancil. Kegiatan sekolah
membuatku lelah dan lapar. Tak jarang
aku menghiraukan sang guru ketika
sedang mengajar meski aku tau bahwa
itu bukanlah tindakan yang baik.
Kemudian, sosok yang paling aku puja
sepanjang waktu. Dialah idola sejatiku.
Allah subhanahu wata’ala. Kekasihku dari
jauh. Sang pemilik arsy yang Maha
segalanya yang baik-baik. Dan Nabi
Muhammad solallahu’alaihi wasallam,
rasul utusan Allah yang tiap perkataan,
perbuatan, maupun ketentuan beliau
adalah teladan. Mengikuti sunahnya
merupakan ibadah. Dan salah satu dari
sekian banyaknya ibadah ialah
menghormati ibu.
Dengan tidak mengurangi rasa hormatku
pada sosok ayah, aku katakan “ibuku
hebat...” ibu adalah simbol cinta yang
nyata, lebih terasa begitu indah.
sosok wanita yang telah
mengandung dan melahirkanku.
Perjuangan yang amat besar. Bertaruh
jiwa dan raga, demi aku, yang sangat ia
harapkan kelak menjadi teladan. Ribuan
kata terangkai sempurna, membentuk
sebuah kalimat yang sarat makna.
“Ibu, engkau begitu bahagia..kasih
sayangmu mengalir hingga ke dasar
sumsum..tak banyak aku memberi, tapi
engkau sudah tak kehitung..berkali-kali
aku merengek ini dan itu, tapi engkau,
tak sedikitpun engkau meminta..engkau
begitu surga, yang tiap lantunan doamu
selalu menghadirkan ukiran namaku..”
Itulah kiranya ungkapan cintaku pada
sang ibu yang begitu kubanggakan. Dan
ternyata, bukan itulah puncak
permintaannya. Besar harapannya ialah
kebahagiaan selalu menyertaiku. Meski
sudah tidak terhitung betapa besarnya
pengorbanan yang ibu berikan. Tetapi
memang sudah sifat, yang masih belia
sepertiku memandang orang tua selalu
berpikiran kuno dan ketinggalan jaman.
Terhadap ibuku pun, aku pernah berpikir
layak itu yang aku yakin itu bisa
menambah catatan dosaku. Lalu kembali
kutatap rona wajahnya. Telah banyak
kerut yang muncul disana. Mungkin,
itulah yang mewujudkan kesabaran
hatinya yang juga penuh perhatian
merawatku. Terlalu sering, betapa kecilku
dulu membuang kotoran di pangkuan
ibu. Tetapi hebatnya, dia tak pernah
marah dengan segala tingkah manjaku.
Jika mengingat masa kecilku, ketika aku
masih lemah. Dengan keikhlasan ibu
ajarkanku untuk berjalan. Senyumannya
yang penuh arti nyaris tak pernah aku
sadari bahwa saat itulah ibu tengah
memberiku semangat untuk bisa.
“Ayo, Nak..! kemari...kesini...sini...sini...
Ayo kejar ibu...ayo...” teringat jelas dikala
ibu memelukku mesra. Kasihmu ibu
seperti lingkaran. Tak berawal dan tak
berakhir. Selalu berputar dan senantiasa
meluas. Melingkupi seperti kabut pagi.
Menghangatkan seperti mentari siang.
Menyelimuti seperti bintang malam. Aku
berharap kelak, bisa menjadi pribadi
semulia ibu...berbuat baik, berbakti dan
taat. Sayangku pada ibu, akan membuat
Tuhanku juga sayang kepadaku. Murkaku
pada ibu, akan membuat Tuhanku juga
murka kepadaku. Karena setiap ridho ibu
juga merupakan ridho Tuhanku.
“Ya, Allah.. Tuhanku yang sangat aku
kasihi..kekasih-Mu yang kecil ini
memohon dengan sangat, berikanlah
kesempatan dan kemampuan agar aku
dapat membalas segala jasa orang-orang
yang telah begitu baik terhadapku.”
itulah sedikitnya yang dapat terucap kali
ini.
Ibu tak memerlukan imbalan koin emas
sekalipun. Dengan aku merawatnya tulus,
itu pun tak akan pernah sanggup
membalas kebaikan hatinya. Yang ia
inginkan adalah kesuksesan buah hatinya.
Pernah kupersembahkan satu keriangan
untuknya, “Ibu...aku ranking satu... ”
dengan penuh gembira berteriak bahagia
menatap wajah ibuku.
“Alhamdulillah...bersyukurlah, Nak. Tetap
belajar yang rajin ya...” penuturan beliau
sungguh membawa kedamaian.
*****
Kini aku tidak lagi menjadi anak kecil
yang kerap bermanja seperti dulu. Sudah
saatnya aku berhenti sejenak untuk
bermain-main dengan ingatan masa
kecilku. Rangkaian kehidupan selalu maju
kearah depan. Itulah yang memaksaku
untuk berpikir tentang masa yang akan
datang, meski aku tahu hanya Tuhanku
yang menghendaki akan sampai mana
aku berkesempatan menghirup nafas. Itu
semua mengajarkanku betapa amalku tak
akan pernah cukup untuk membalas jasa-
jasa ibu. Perjalanan hidup ini begitu
panjang. Kemanapun aku melangkah,
akan kutemui tikungan kegagalan dan
bundaran kebingungan. Tapi aku punya
penolong bernama Tuhan. Dan aku akan
sampai di sebuah tempat yang disebut
tujuan. Salah satu dari enam perkara pengantar
surga adalah mengetahui akhirat dan
mengharapkannya. Tujuan akhir hidup
adalah surga, padahal pepatah bijak
mengatakan bahwa surga itu berada di
telapak kaki ibu. Astagfirullah...berapa
kali kata “ah” terucap dalam harianku?
Padahal Allah menetapkan kata “ah” saat
menolak perintah orang tua adalah dosa.
Masihkah aku aku melanjutkan tradisi
kemalasanku?
“Tidak” seharusnya ini adalah jawaban
yang paling baik dan tepat.
“Ibu, aku yakin disetiap sujudmu yang
khusuk, disetiap doamu yang kontinyu,
engkau selalu selipkan namaku. Terima
kasih untuk semua peluhmu yang tak
hanya kasih tetapi juga sayang.”
“Ibu, maafkan setiap kali aku berbuat
salah yang kerap membuatmu terluka.
Semoga Allah memberikan cahaya ditiap
langkah yang hendak dilalui. Memberikan
kekuatan dan ketegaran dalam menjalani
hidup. Memberikan ampunan disetiap
kesalahan yang telah dan akan dilakukan.
Dan seberat apapun langkah, semoga
akhirnya akan sampai pada impian yang
melingkar di puncak kesuksesan yang
masih terekam di dalam benak dan
pikiran.”
Ibu, aku akan terus ingat sejuta alasanmu
untuk tersenyum, menikmati setiap detik
waktu dan mengakhiri kelelahan hari ini
dengan keikhlasan.
"ibu, pastikan engkau masih bisa
tersenyum besok pagi. Aku
mencintaimu...karena Allah...
({}) aku sayang ibu

Your Reply