Hari
ini seperti biasa aku dan keluarga kecilku duduk diteras depan rumah, kami
menceritakan hal apa yang terjadi hari ini kepada satu sama lain, terlebih lagi
ka Reno dia selalu mencerita hal konyol yang membuat aku, ayah dan ibu tertawa.
Disela pembicaraan kami, dari kejauhan
ada sesosok laki-laki kira-kira umurnya sedikit lebih tua dari ku
dan mukanya sih agak tampan datang menghampiri kami, lebih tepatnya
menghampiriku, dan dia terus berjalan mendekatiku semakin dekat dan semakin
dekat dan sampai akhirnya dia memonyongkan mulutnya kearahku, sontak aku dan
semuanya terkejut melihat kelakuan lelaki yang tidak tau sopan santun tersebut,
dan dengan sigapnya ayah langsung
menegur perbuatannya “Hai mau apa kamu!” terdengar suara ayah dengan keras, dan
laki-laki itu pun langsung lari sambil menutup telinganya dan berteriak-teriak
tidak karuan sebelum melakukan hal yang membuat ku sok berat.
“ kamu mengenalnya Ca?” Tanya ayah kepadaku
“ tidak yah, aku saja baru sekali ini melihatnya” aku
menjawab pertanyaan ayah dengan suara yang terbata-bata karena masih terlalu
sok dengan apa yang baru saja terjadi kepadaku
“terus siapa dia? Berani sekali malakukan hal yang tidak
sopan seperti itu” kata ayah dengan sedikit marah
“ sepertinya dia tidak seperti kita deh” sahut ka Reno
“ maksudmu Reno?” Tanya ibu penasaran
“ Iya, sepertinya dia sedikit idiot, mana mungkin orang
waras melakukan hal seperti itu dan lihat saja dia juga tadi langsung lari kan
setelah ayah tegur” Jelas ka Reno kepada kami
“ ada benarnya juga” Ayah membenarkan
“ ya sudahlah sebaiknya kita masuk kerumah sudah terlalu
sore, ayo Reno, Marsya masuk rumah dan lekas untuk mandi” suruh Ibu
“ iya bu” sahut aku dan ka Reno
Kami pun masuk kerumah dan melaksanakan perintah Ibu.
Keesokan harinya aku menceritakan hal tersebut kepada teman ku Citra disekolah,
bukannya kasihan ehh aku malah ditertawakannya karna mau dicium sama orang
idiot.
“hahaha bener-bener lucu cerita kamu kali ini Ca” ejek Citra
“ apaan sih kamu Cit malah ketawa-ketawa kayak gitu,
bukannya kasihan sama temennya nih malah diledekin” sahutku sambil cemberut
“ Eh jangan marah gitu dong, aku kan cuman becandaan ca
gak serius kok” bujuk Citra
“bencadaannya gak lucu Cit” tambahku
“ aduhhh jangan ngambekan kayak gini dong, gak apa-apa
lah katanya kan yang mau cium lumayan
ganteng, kapan-kapan lagi dicium orang ganteng” ledek Citra lagi
“Citraaaaaaa!!!” Teriak ku malu
Saat itu pula bel sekolah berbunyi tanda jam pelajaran dimulai, kami pun
menghentikan pembicaraan kami dan masuk kedalam kelas. Di dalam kelaspun saat
jam pelajaran masih sempat-sempatnya Citra ngeledikin aku, nyesel aku ceritakan
kejadian kemaren ke citra. Citra adalah teman ku sejak dari SMP sampai SMA
kelas 3 seperti sekarang walau orangnya jail dan usil tapi sebenarnya citra
orangnya baik dan selalu mau dengeri curhatanku selama ini.
Keesokan harinya pada saat sore hari laki-laki itu pun
lewat depan rumahku lagi, ku dengar dari gosip tetangga bahwa dia adalah
tetangga baru di gang sebelah, ayahnya seorang letjend yang sedang menjalankan
dinas disini, setelah ku perhatikan ternyata dia selalu lewat depan rumahku
hanya untuk sholat asar berjamaah dimasjid dekat rumahku. Hal yang tidak pernah
ku pikirkan sebelumnya seorang anak yang mempunyai kekurangan mental seperti
itu ternyata masih selalu ingat untuk sholat berjamaah dimasjid, subhanAllah
sekali bukan?
Setelah beberapa hari ku perhatikan laki-laki itu, aku
merasa iba melihatnya, bagaimana aku tidak merasa iba, setiap kali dia pulang
dari masjid dia selalu diganggu dan dihina oleh anak-anak yang lain dan Ibu-ibu
mereka bukannya melarang perbuatan anaknya ini malah membiarkan dan ada pula
yang menarik anaknya dan sambil berkata “kamu jangan dekat-dekat dengan dia,
mau kamu jadi idiot seperti dia?” hal yang menyakitkan hati bukan? Laki-laki itu seolah seseorang yang mempunyai
penyakit menular yang mematikan, yang
siapa saja jika mendeketinya akan tertular dengan mudahnya. Bodoh menurutku
jika orang menilai dia seperti itu, seperti sampah masyrakat yang harus dibasmi
keberadaannya. Dan hal inilah yang membuatku ingin berteman dengannya dan
paling tidak bisa menjauhkannya dari hinaan orang-orang terhadapnya.
Hari berikutnya pun aku memberanikan diri untuk mencoba
menjadi temannya, walau dengan perasaan gugup bercampur cemas karena masih
teringat kejadian saat pertama kali aku bertemu dengannya tapi aku tetap
membulatkan tekatku. Sore itu aku duduk diteras rumah menunggu laki-laki itu
lewat depan rumahku lagi, tak selang berapa lama pun dari kejauhan orang yang
ditunggu-tunggu akhirnya datang, dag dig dug terdengar bunyi detak jantungku,
aku mulai mengatur nafasku supaya tidak terlalu gugup, laki-laki itu lewat
tepat didepanku dengan kepala yang menunduk, tangan yang jari-jarinya digigitinya sepanjang jalan, aku
mencoba menegurnya “Hai” sapaku kepadanya tapi tidak ada jawaban dan respon
sama sekali, dia masih saja berjalan melewatiku, aku tidak menyerah ku sapa dia
untuk kedua kalinya “Hai, kamu mau permen?” ku ulurkan tanganku dengan setoples
permen yang aku bawa dari rumah, kali ini aku berhasil! dia mau menghentikan
langkahnya dan mulai berbalik kearahku, rasa gugup itupun seketika datang
kembali, gugup kalau saja dia melakukan hal yang tak sopan itu lagi tapi aku
langsung menepisnya dan berusaha memberikan senyuman manis kedepanya tanda aku
benar-benar ingin berteman dengannya, dia melangkahkan kakinya kearahku ketika
sudah tepat didepanku dia menganggukan kepalanya, ku ambilkan beberapa permen
dari toples untuknya, “ulurkan tanganmu” pintaku, dia pun langsung mengulurkan
tanganya, akupun meletakkan beberapa permen itu ditelapak tangannya, dan dia
pun langsung ingin membuka bungkus permen tersebut, “Kenalkan namaku Marsya
bisa dipanggil ica, siapa namamu?” aku pun langsung memperkenalkan diriku
sekaligus menanyakan namanya, tapi dia sama sekali tak menjawab dia hanya sibuk
untuk membuka bungkus permen yang tadi aku beri, “sini aku bantu buka kan
permennya” tawarku sambil tersenyum kearahnya, dia pun langsung memberikan
permen yang ingin sekali dia makan dari tadi, aku langsung mengambil dan
membukakan permen tersebut, “Chiko” terdengar suara dari mulut laki-laki yang
sedang berdiri didepanku tersebut, “oh,Chiko ya namamu, ini permennya sudah aku
bukakan Chiko” ku kembalikan permen tersebut ketangan Chiko, tanpa berlama-lama
lagi Chiko pun langsung melahap permen
tersebut, “Kita berteman ya? Nanti aku bawakan makanan terus kalau kamu lewat
sini” ku coba mendekatinya perlahan-lahan, seperti anak kecil memang tapi
mungkin ini adalah cara satu-satunya untuk bisa mendekati Chiko.
Malamnya ketika makan malam dirumah suasana jadi aneh, dimeja makan semuanya menatap
sinis kepadaku, aku bingung sendiri seperti seseorang yang melakukan kejahatan
yang amat berat dan harus dihukum mati.
“Marsya” Ayah membuka pebicaraan
“iya yah, ada apa?” jawabku
“apa yang kamu lakukan tadi sore?” Tanya ayah
“Marsya duduk diteras rumah seperti biasa yah, memangnya
ada apa?” sahutku
“Lalu untuk apa kamu berbicara dan memberikan permen
kepada anak idiot itu?”
Aku terdiam, Ternyata ayah melihat apa yang aku lakukan
tadi sore dan sepertinya ayah tidak suka dengan apa yang aku lakukan.
“Marsya jawab Ayah!” Bentak ayah
“Marsya cuman mau berteman aja kok yah” Jawabku
“Berteman? Untuk apa kamu berteman orang seperti itu?
Kamu lupa apa yang dia lakukan sebelumnya kepadamu? Ayah tidak suka kamu
berteman dengan dia” sambung Ayah dengan
nada yang sedikit marah.
“Memangnya kenapa kalo Marsya berteman dengannya? Apa
karena dia idiot? Terus kenapa kalau dia Idiot? Buktinya marsa tidak
kenapa-kenapa, coba ayah bayangkan jika hal itu terjadi kepada Marsya, Marsya
selalu diganggu dan dihina oleh orang-orang tanpa marsa mengganggu mereka,
bagaimana perasaan ayah melihat anaknya seperti itu? Tidak ada yang mau
berteman dengan Marsya, maka dari itu Marsya ingin berteman dengannya paling
tidak membuatnya nyaman tinggal disini.
Ayah terdiam sejenak mungkin sedang memikirkan
perkataanku tadi, malam ini pertama kalinya aku dan ayah berdebat seperti ini, aku
sadar mungkin aku kurang sopan dan terlalu berani menjawab pertanyaan ayah tadi
seperti itu, tapi itulah yang sebenarnya, ayah harus tahu bahwa yang aku
lakukan adalah hal yang benar dan tidak mungkin aku harus berbohong.
“Baiklah Ayah mengerti, kamu boleh berteman
dengannya” ayah membuat keputusan yang
mengagetkanku, ku kira Ayah akan masih tetap kekeh dengan perkataannya tadi.
“Ayah serius? Terima kasih yah” Aku sangat gembira dan
langsung mendekati ayah dan memeluknya.
“Iya ayah serius, tapi kamu harus janji untuk bisa
menjaga diri kamu ketika berteman dengannya” sahut Ayah sambil memelukku balik
“iya yah pasti, Marsya janji” kataku dengan mengacungkan
jari kelingking
Setelah kejadian malam itu aku jadi makin bersemangat
untuk berteman dengan Chiko, setiap sorepun Chiko slalu mampir sebentar didepan
rumahku hanya untuk memakan permen atau makanan kecil lainnya yang aku bawa
dari rumah, walau jarang ada pembicaraan antara kami tapi aku senang bisa
berteman dengannya, dan jika ada yang menghina atau menggangu Chiko aku
langsung menarik Chiko agar tidak mendengarkan celotehan orang-orang yang tidak
mempunyai hati seperti itu.
Sore ini aku seperti biasa menunggu Chiko lewat depan rumahku lagi, lama sudah aku
menunggu tapi Chiko tidak terlihat batang hidungnya, “Tumben, biasanya jam
segini dia sudah lewat” gumamku, aku menengok kekiri dan kekanan dan sama
sekali tidak ada tanda-tanda Chiko, sudah sejam aku menunggu tapi orang yang
ditunggu tidak datang-datang juga, “Marsya, sudah sore ayo cepat masuk dan
lekas mandi!” Teriak Ibu dari dalam rumah, “iya bu” sahutku, aku pun langsung
masuk kedalam rumah dipikiranku masih bertanya-tanya kenapa hari ini Chiko
tidak lewat depan rumahku.
Keesokannya pun aku menunggu Chiko lagi, tapi kali ini
kelihatannya Chiko tidak lewat lagi karena seharusnya Chiko sudah lewat 10
menit yang lalu, aku bingung pikiran ku mulai bertanya-tanya lagi, apa dia
sakit? Atau dia tidak mau berteman lagi denganku? Pertanyaan itu yang sedang
berada dipikiranku sekarang, “kayaknya aku harus kerumahnya deh untuk
memastikan dan menjawab semua pertanyaan yang ada diotakku ini”gumamku, aku pun
memberanikan diri berjalan kerumah Chiko. Setibanya disana tanpa pikir panjang
lagi aku langsung mengetuk pintu rumahnya,
”Assalamualaikum”
teriakku pelan
“Wa’alaikum salam” ada sahutan dari dalam rumah
Pintu pun dibukakan, Terlihat seorang wanita yang sedang
membukakan pintu untukku, aku mengira bahwa perempuan ini adalah ibunya Chiko.
“Iya, ada apa?” Tanya wanita itu
“Chikonya ada bu?” jawabku sambil tersenyum
“Oh teman Chiko ya? Pasti kamu yang namanya Marsya kan?
Ayo silahkan masuk” Ibu Chiko mempersilahkanku masuk
“oh iya, Terimakasih” kataku sambil masuk kedalam rumah
“Silahkan duduk”
“iya bu sekali lagi terimakasih, tapi tadi Ibu tau namaku
dari mana ya?” Tanyaku bingung
“Oh, itu Chiko yang cerita katanya kamu sering memberinya
permen” Jawab ibunya Chiko sambil tersenyum kearahku
“ Lalu Chiko nya mana?” Tanyaku lagi
“Ada dikamarnya, mungkin dia tertidur setelah berterik
minta bukakan pintu kamarnya” jelas Ibunya Chiko
“Maksudnya Chiko dikurung didalam kamar?”
“Iya, Bapaknya yang mengurungnya, sebenarnya Ibu tidak
tega melihatnya tapi harus bagaimana lagi Ibu tidak bisa menentang perintah”
jawab Ibu Chiko dengan nada yang agak sedih
“Kenapa bisa begitu bu? Kenapa Chiko harus dikurung
didalam kamar?” Tanyaku lagi
“Bapaknya Chiko sudah terlalu lelah melihat anaknya
selalu dihina oleh para tetangga, makanya Chiko tidak diperbolehkan lagi keluar
rumah, Chiko dikurung dikamar karena Chiko melawan dan tidak mau menurut untuk
tetap diam didalam rumah” jelas Ibu Chiko kepadaku
“BUKA PINTUNYA !!!!”
Terdengar terikan dari salah satu kamar.
“Itu Chiko bu?” tanyaku
“iya, seperti itu lah dari tadi dia berteriak-teriak
meminta bukakan pintu kamarnya” sahut Ibu Chiko
“Kenapa tidak dibukakan saja bu? Aku tidak tega
mendengarnya” pintaku
“Tapi nanti bapaknya marah” jawab Ibu Chiko
“Ayolah bu, Kasihan Chiko dia juga ingin merasakan
suasana diluar tidak mungkin jugakan dia harus berada dirumah terus, aku janji
akan menemani Chiko dan aku janji tidak akan ada yang berani menghina Chiko
lagi” pintaku lagi
“Baiklah pintunya Ibu buka, tapi kamu janji ya”
“Iya aku janji”
Pintu kamar Chiko pun dibuka, Chiko langsung bergegas
keluar sambil berkata “Makan permen kerumah Marsya”, Aku tersenyum dan
memanggilnya “Chiko, Marsya disini” Chiko berbalik badan dan melangkahkan
kakinya kearah ku “permen” kata Chiko, “Chiko mau permen? Tapi Marsya sekarang
tidak membawa permen, bagaimana kalau kita ketaman nanti Marsya belikan permen
deh” Rayuku, Chiko mengangguk tanda setuju, akupun meminta izin kepada Ibu
Chiko untuk membawa Chiko ketaman depan komplek dan Ibu Chiko mengizinkan.
Sesampainya ditaman aku menyuruh Chiko untuk duduk dan menungguku
membelikannya permen, Setelah selesai aku langsung menyusul Chiko, ku berikan
padanya permen kapas,”apa ini” kata Chiko “ini sama seperti permen Chiko,
rasanya manis” jawabku dan dengan lahapnya dia langsung memakannya, “besok
Chiko lewat depan rumah Marsya kan, nanti Marsya bawakan permen kesukaanya
Chiko”kataku, Chiko pun mengangguk.
Keesokanya aku sepeti biasa menunggu Chiko lewat depan
rumah, sudah ku siapkan setoples permen kesukaannya, tapi entah kenapa
lagi-lagi Chiko tidak datang “mungkin sebentar lagi” gumamku, tapi sudah satu
jam aku menunggu Chiko tidak datang-datang juga. Aku pun mengira bahwa Chiko
dikurung ayahnya dikamar lagi. Aku bergegas bejalan menuju rumah Chiko, setelah
sampai suasana disana terlihat hening,
“Assalamualaikum” Teriakku pelan tapi tidak ada jawaban “Chiko” Teriakku lagi
sambil mengetuk pintu rumahnya, tapi sama sekali tidak ada jawaban
“Orang rumahnya
sudah pindah,de” Salah seorang tetangga menegurku
“Pindah? Kapan? Kemana?” tanyaku tak percaya
“Tadi pagi, gak tau tuh pindahnya kemana” jawab tetangga
tersebut
Pindah? Aku benar-benar tak percaya, baru semalam aku
bermain bersama Chiko tapi sekarang dia sudah pergi meninggalkan ku,kenapa dia
tidak pamitan dulu kepadaku, apa mungkin ini karena salahku semalam mengajak
Chiko keluar rumah dan akhirnya ayahnya marah, kalau itu benar aku sangat
menyesal.
Hari-hari pun ku lalui seperti biasa tanpa adanya Chiko,
sekarang setiap sore aku tidak pernah lagi duduk diteras depan rumah, ku
sibukkan diriku untuk belajar menghadapi UN karena aku sudah kelas 3 SMA, Dan
Alhamdulillah setelah melalui ujian tersebut aku Lulus dengan nilai yang
terbaik.
Sekarang aku adalah seorang mahasiswi, aku memilih
Universtas dikota sini saja karena aku tidak ingin meninggalkan kedua orangtua
dan kakaku. Dua tahun pun berlalu, aku
duduk di taman kampus sendirian sembari menatap layar laptopku, tiba-tiba saja
sebuah permen kapas berada dihadapanku, aku menatap dari tangannya yang
menggenggam permen kapas itu, meniti setiap jengkal tangannya sampai ke
wajahnya yang membuatku terpana, “apakah ia orang yang sama?” batinku.
“Apa kabar,Ca? Lama gak ketemu,” suaranya seperti tak asing
bagiku,
“ Kamu siapa?”
Aku menatapnya heran, dia tersenyum cukup tampan bagiku,
tapi dia siapa? Di tengah siang bolong menyapaku dengan sebuah permen
kapas,tunggu sebentar… permen kapas? Jangan-jangan dia.
“Aku Chiko” ucapnya singkat,
Aku melongo tak percaya, itu benar dia. Wajahnya tak jauh
berbeda dari sebelumnya, hanya saja dia terlihat lebih normal sekarang.
Bagaimana mungkin dia berubah dalam waktu dua tahun ini?.
“Boleh duduk?” ucapnya lembut,
“Tentu,” ucapku singkat,
“Kamu belum jawab pertanyaanku tadi,” ucapnya,
“Yang mana?”
“Apa kabar? Lama gak ketemu,Kamu udah punya pacar belum?”
ucap Chiko,
Aku mengangguk,
“Ohh… yang itu, aku baik kok. Tapi yang terakhir kayanya
bukan pertanyaan kamu tadi,deh!” aku tertawa pelan,
“Ya… itu pertanyaan aku sekarang,” ucapnya, membuatku
pipiku bersemu merah,
“Belum punya, Kenapa mau daftar?” ucapku bercanda,
“Kalau boleh,”
Dia tertawa kencang, aku pun
juga ikut tertawa bersamanya.
Kami saling diam sejenak, suasana hening seketika.
Terbesit dalam pikiranku pertanyaan yang selama ini ingin aku utarakan padanya.
“Kemana saja kamu selama ini?”
“ Aku pergi ke Singapore untuk menjalani terapi, ayahku
mengatakan bahwa dia memiliki seorang sahabat yang mampu membantuku kembali
normal ditambah lagi dinas ayah yang sudah berakhir di sini, sehingga membuat
ayah harus di pindahkan ke kota lain.”
“Jadi, sekarang kau benar-benar normal?” aku menatapnya
dengan tatapan heran,
“Bisa dibilang begitu,”
“Syukurlah,” ucapku singkat,
“Hanya syukurlah? Kamu tidak senang? Kalau begitu aku
kembali idiot saja,”
“Jangan…jangan, aku senang kok!”
“Hehe… kamu masih tinggal ditempat yang kemaren?”
“Iya masih kok, masih ingatkan tempatnya dimana?
Kapan-kapan mampir ya, nanti aku siapin permen yang banyak,”
“iya nanti aku mampir, janji ya permennya harus banyak!”
Kami pun berbincang panjang lebar, menceritakan
pengalaman kami selama dua tahun tak bertemu, hidup Chiko yang telah normal
tidak membuatnya berubah sedikit pun, kesukaannya masih tetap permen dan yang
membuatku sangat bahagia ialah alasannya untuk menjadi normal karena aku, walau
aku tidak meminta sedikit pun padanya untuk menjadi normal. Kabar gembira
untukku Chiko akan menetap disini dan kuliah disini bersamaku, kami menjalani
hari-hari seperti dulu mengganti dua tahun kesempatan kami yang telah terbuang
sia-sia menjadi seorang yang lebih berarti untuk pribadi kami masing-masing.
Kadang kita tidak tahu bagaimana Tuhan memberikan sebuah
rencana untuk kita, sebuah kejutan kecil bagi hidupku, seorang yang tak terduga
muncul didalamnya memberikanku arti dari sebuah kehidupan yang lain, dari
kehidupanku yang biasanya tampak datar dan membosankan kini jauh lebih berwarna
dan semanis permen kapas yang selalu membawa kebahagiaan.
-THE END-